Ruang Gerak Dakwah Para Ulama Al-Azhar di Mesir: Sebuah Wawancara

Sebuah wawancara bersama syekh Jamal Farouk, dekan fakultas Dakwah universitas Al-Azhar.

Syekh Jamal Farouk.

Dekan Fakultas Dakwah Al-Azhar Kairo, Dr. Jamal Farouk meminta agar orang yang berfatwa tanpa ilmu dapat dihukum dan dilarang dari segala bentuk pemberian fatwa. Jika dibiarkan, hal tersebut menurutnya dapat mengancam peran para ulama yang memang memiliki lisensi. Lebih jauh, Syekh Jamal memuji para dai yang memilih tema dakwah dengan tepat, bukan memilih tema-tema dakwah yang tidak penting dan meresahkan. Para dai malah tidak mengajak untuk berakhlak yang baik. 

Dalam kesempatan wawancara mingguan Aqidati, Syekh Jamal menegaskan penolakannya terhadap kebijakan menutup “makatib” (pusat tahfiz Alquran) yang tidak berizin. Menurutnya, hal ini jelas sama dengan memerangi “kuttab” (pusat tahfiz Alquran tradisional). Lebih lanjut, Syekh Jamal menjelaskan bahwa menganggap agama sedang melemah dalam kaitannya dengan penerapan hudud adalah pemahaman yang salah terhadap agama. Hal ini juga tak lantas berarti Mesir tidak menerapkan syariat Islam. Berikut wawancara selengkapnya:

Untuk mengawali, kami ingin tahu bagaimana penilaian Anda tentang aktivitas dakwah di Mesir, lalu seberapa jauh Anda setuju mengenai penyampaian dakwah?
Sebenarnya aktivitas dakwah sama halnya dengan aktivitas lainnya. Terdapat aspek positif dan negatif sekaligus. Sejak munculnya aktivitas ini dan orang-orang paham risalah agama Islam, juga sejak didirikannya institusi keagamaan dan dipecah menjadi fakultas-fakultas akademik, idarah penceramah, Darul Ifta (lembaga fatwa), Kementerian Wakaf, dan seterusnya termasuk yayasan-yayasan yang berkaitan dengan kegiatan dakwah; sederet lembaga ini beserta orang-orangnya, merekalah pelaksana perannya masing-masing. Tetapi, terkadang terdapat pengembangan dalam pelaksanaannya. Ada perhatian yang beda dari yang lain terhadap masalah tertentu. Mungkin di situlah adanya kekurangan dan celah. Atau mungkin gagal di segi lain. Masing-masing memiliki sebab dan faktornya.

Apa penyebab kegagalan itu menurut Anda?
Pemilihan seseorang yang tidak memiliki pemahaman atau (tidak tahu) tujuan dari tempat di mana dia berada menyebabkan kegagalannya. Membawa aspek negatif pada dakwah. Maka dari itu, ketepatan memilih orang-orang (untuk mengisi peran) adalah perkara yang sangat penting.

Al-Azhar dan Ekstremisme

Sebagian orang mengaitkan kembalinya peran dakwah Al-Azhar serta lemahnya kepercayaan terhadap ulama dengan munculnya kelompok-kelompok ekstremis. Apakah Anda sepakat dalam hal ini?
Kemunculan sejumlah kelompok ini adalah buah dari pemikiran-pemikiran yang garib, jauh dari domain keislaman seluruhnya. Dalam sejarah Islam bibitnya tertanam sejak munculnya kelompok bernama “Khawarij”. Dari bibit yang sama pula muncul beberapa organisasi dan gerakan seperti Alqaeda, ISIS, dan dakwah Wahabi yang destruktif.

Saya tidak menampik bahwa kegiatan dakwah ini di beberapa wilayah bertujuan melucuti peran Al-Azhar dan membatasi ruang-gerak dakwahnya. Hal ini salah satunya yang mengantarkan pada kembalinya peran ulama Al-Azhar dan kebangkitan dakwahnya. Dakwah yang tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran destruktif serta melakukan polarisasi di tengah generasi muda. Tidak ada yang mengingkari pengaruh kelompok-kelompok yang kuat ini di sejumlah wilayah. Peran para figur Al-Azhar di sini adalah membendung laju pemikiran seperti ini, memeranginya, dan membersihkan sisa penyakit yang mewabah di banyak kepala pemuda kita.

Pemikiran-pemikiran radikal dan ekstrem ada di dalam banyak buku. Tugas kita memberikan bantahan terhadap poin-poin yang menjadi pokok pangkal, menjelaskan kekeliruannya, dan melindungi generasi muda sehingga tidak lagi bergabung di barisan belakang pemimpin mereka, meskipun mereka menggunakan banyak cara yang beragam demi menyebarkan keyakinannya seperti menggunakan anak-anak dan wanita sebagai media. Banyak orang yang bergabung dengan kelompok-kelompok ini bermula dari rasa simpati dan haus-dahaga akan pengetahuan agama. Lalu ia menerima maklumat tanpa menggunakan akalnya bahkan melaksanakannya begitu saja. Kita semua telah melihat bahwa pemuda-pemudalah yang bergabung bersama ISIS dan (nampak pula) anak-anak kecil dijadikan prajurit demi mewujudkan misinya yang keji.

Bagaimana Anda melihat adanya serangan dari beberapa figur di Kementerian Kebudayaan terhadap Al-Azhar serta permintaannya pada negara agar tidak lagi memberikan dana untuk Al-Azhar dengan anggapan bahwa Al-Azhar mengayomi ekstremis?
Al-Azhar adalah sejarah yang luhur. Lembaga-lembaga negara seharusnya berbangga dengan Al-Azhar, membelanya, bukan malah menjadikan lembaganya itu sebagai media menyerang Al-Azhar dan merobohkannya. Siapapun yang menuduh bahwa Al-Azhar menelurkan ISIS dan para ekstremis sebaiknya diajak untuk melihat lagi. Syekh Sya’rawi itu keluaran Al-Azhar. Begitu juga Syekh Abdul Halim Mahmud, Syekh Jad Al-Haq, Syekh Khidr Husein, dan seluruh ulama moderat yang tersebar di berbagai penjuru dunia dengan ilmunya. Mereka semua adalah alumni, dididik oleh Al-Azhar Al-Syarif. Mana ada ekstremis di Al-Azhar?! Sebab-musabab ekstremisme harusnya tidak dituduhkan pada Al-Azhar dan metode pengajarannya. Semua itu tak lain adalah sebab-sebab eksternal. Mereka dengan baik mengetahui hal itu, hanya saja tidak mengakuinya.

Kinerja Para Pengemban Dakwah

Sebagian orang mengkritik tema-tema yang disampaikan para dai di atas mimbar. Apakah kebijakan penyatuan khotbah merupakan jalan keluar dari situasi kritis ini?
Menggeneralisasi hukum-hukum yang umum secara menyeluruh bukanlah suatu hal yang moderat. Oleh karena itu, saya sepakat dengan gaya dakwah sebagian dai dan menolak sebagian lain yang sibuk dengan tema-tema yang tidak penting bagi masyarakat. Sangat disayangkan, sebagian dai memilih tema-tema yang sama sekali tidak berkualitas dan meninggalkan isu-isu yang justru dibutuhkan masyarakat.

Agama mencakup berbagai perkara dan persoalan. Sudah seharusnya para dai memberi perhatian lebih pada persoalan akhlak dan moral. Kita patut berduka atas jatuhnya nilai sopan-santun dan rendahnya kualitas moral. Kenapa dai tidak mengangkat isu kebersihan misalnya? Bahwasanya kebersihan dalam Islam adalah suluk dan urusan manusiawi. Kenapa tidak berbicara tentang profesionalisme dalam bekerja? Bahwasanya ada pahala bagi orang yang bekerja dengan kesungguhan dan ada ancaman-siksa bagi yang bermalas-malasan.

Dai hari ini kalau tidak sibuk dengan politik hingga masyarakat terpecah saling bertikai, ya berbicara tentang isu tak bermutu hingga masyarakat menjadi berpaling. Mana isu-isu kehidupan yang disiplin-beraturan dan bersifat membangun? Mana topik pembahasan adab berlalu-lintas di jalan? Mana hak-hak di jalan yang seharusnya kita taati? Adab berlalu-lintas di jalan itu peradaban luhur yang diajarkan Islam. Tentang persoalan ini saya tegas mengkategorikan penyerobotan-jalan sebagai bentuk dosa besar tatkala disusul dengan hal-hal yang jelas membahayakan jiwa. Sudah seharusnya bagi dai untuk memerangi hal-hal negatif di masyarakat dan meluruskan hal yang menyimpang.

Ulama pakar hadis mengumpulkan lebih dari 60 ribu hadis Nabi Muhammad Saw. Hanya 20 ribu tentang hukum (halal-haram). Hadis lain yang sejumlah 40 ribu berkaitan dengan akhlak, moral, suluk, dan akidah. Kita ada di mana dari semua ini?

Kebanyakan dari kita hafal hadis Nabi Saw. “Innama bu’itstu Li utammima makarimal akhlaq” (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak) tetapi kita hanya mengulang-ulang tanpa menerapkan nilainya. Apabila kita menerapkan hadis ini –seperti seharusnya demikian-, masyarakat akan bangkit dan hal-hal negatif yang membuat kita terpuruk akan hilang. Kita taruh di mana slogan keagamaan yang terkenal “Addinu Al-Muamalah” (Agama adalah urusan kemasyarakatan)? Apakah kita mengamalkannya, menerapkannya dalam muamalah dan interaksi sosial kita bersama?

Ini merupakan kewajiban para dai dan tugasnya yang mendasar; menjalin nilai-nilai agama dengan jagat-realitas, membawa perbaikan moral pada masyarakat, dan memerangi setiap hal negatif yang ada.

Namun demikian, solusi dari permasalahan ini bukanlah kebijakan menyatukan khotbah (secara tematik) ataupun tertulis. Karena tiap daerah, tiap propinsi di Mesir mempunyai problemnya masing-masing. Penduduk So’id (Upper Egypt; selatan Mesir) mempunyai masalahnya sendiri. Bentuk permasalahan dan topiknya berbeda dari yang dihadapi masyarakat di kawasan pesisir utara. Sudah seringkali saya tegaskan bahwa saya sepenuhnya menolak konsep penyatuan-khotbah tertulis. Hal tersebut adalah “pembunuhan yang sebenarnya” bagi dai. Karena kebijakan seperti itu mengubah dai menjadi “pembaca selebaran”. Sungguh tidak cocok dengan seni berkhotbah dan juga tabiat masyarakat Mesir.

Menurut Anda, apa saja permasalahan dakwah sekarang ini? Apa solusi yang tepat?
Sudah barang tentu tiap masa mempunyai permasalahannya sendiri. Namun, permasalahan yang paling nampak menurut saya adalah permasalahan meluruskan pemahaman yang keliru. Adalah hal yang keliru menafsiri teks Alquran jauh dari teks-teks lainnya. Ada beberapa pemahaman yang keliru di sekeliling kita seperti konsep jihad, penerapan hukum syariat, dan tuduhan sebagian orang bahwa Mesir tidak menerapkan Syariah Islamiyah (hukum Islam) serta pelaksanaan hudud (seperti hukum potong-tangan bagi pencuri). Berkesimpulan bahwa terjadi penyusutan (reduksi) agama dalam konteks penerapan hudud adalah pemahaman yang keliru terhadap agama. Apabila Mesir yang merupakan negerinya Al-Azhar Al-Syarif dianggap tidak menerapkan syariat Islam lalu siapa yang sebenarnya menerapkannya? Padahal, dalam hal ini , tidak melaksanakan hudud adalah bentuk kepatuhan yang nyata terhadap syariat. Salah satu syarat penerapan hudud adalah melimpahnya kesaksian yang adil. Sementara banyak orang hari ini tidak memenuhi syarat adil. Di sisi lain syariat Islam tidaklah “tuli”, ia adalah hukum yang terbarukan. Kondisi sosial sekarang mengharuskan pengampu kekuasaan menghentikan penerapan hudud seperti pernah terjadi di masa Khalifah Umar ibn Khattab tatkala menghentikan pelaksanaan hudud di masa yang dikenal dengan ‘Am Al-Ramadah (tahun paceklik), 17 Hijriah akhir hingga 18 Hijriah awal.

Memerangi Kuttab

Ketetapan Menteri Wakaf (serupa Menteri Agama di Indonesia) menutup beberapa pusat hafalan Alquran yang tidak memiliki izin menimbulkan polemik yang meluas. Apakah Anda sepakat dengan ketetapan ini?
Tentu saja saya sangat menolak ketetapan-menteri ini. Lebih baik Menteri Wakaf mengundang seluruh pelaksana dari pusat-pusat tahfiz Alquran yang ada. Meneliti mereka dengan cermat. Melaksanakan pengujian bagi ustaz-penyimak hafalan. Dengan beberapa ujian bisa jadi tampak apakah ia berilmu & berbudi atau tidak. Apabila diyakini bahwa ia tidak kemasukan pemikiran ekstrem, tidak terpengaruh dari tokoh ekstrem tertentu misalnya, sepatutnya kementerian memberikan kemudahan baginya. Memberikan izin sesuai aturan. Bukan malah menutupnya. Karena dengan ketetapan ini akan timbul pemahaman bahwa Kementerian Wakaf memerangi “kuttab” (pusat tahfiz tradisional) dan menolak perkembangan aktivitas hafalan Alquran. Terlebih ada banyak desa yang produktif menelurkan anak-anak penghafal Kitabullah. Merekalah yang biasanya juga kita banggakan di perhelatan lomba baik nasional maupun internasional.

Apakah Anda setuju dengan kembalinya tokoh-tokoh agama (penceramah) wanita di banyak masjid?
Unsur wanita dalam masjid sangatlah penting karena terdapat beberapa topik terkait wanita seperti haid, nifas, dan sebagainya. Biasanya para wanita di majelis-pengajian masjid merasa malu untuk menanyakannya kepada dai pria. Dari sini saya mendukung kembalinya dai wanita meskipun di sisi lain sebagian wanita lebih memilih yang pria sebab keluasan ilmunya. Namun demikian, saya sepakat dengan adanya unsur wanita dalam dakwah. Hanya saja, itu khusus untuk permasalahan fikih. Permasalahan akidah (ilmu kalam; yang lebih rumit) lebih baik diserahkan pada para dai pria.

Apa pendapat Anda mengenai peraturan manajemen fatwa?
Akan lebih baik jika peraturan ini berisi vonis-hukum bagi orang yang berfatwa tanpa ilmu, bukan memvonis orang yang berfatwa tanpa lisensi. Lisensi merupakan perkara administratif. Bisa saja didapat dengan berbagai cara tertentu meskipun ia bukanlah orang yang berilmu. Inilah yang menjadi masalah besar. Oleh sebab itu, yang saya minta adalah pelarangan dan vonis-hukum bagi siapa saja yang berfatwa tanpa ilmu.

Penyempitan Ruang-Gerak Ulama Al-Azhar

Ada yang berpendapat bahwa terjadi usaha menyempitkan ruang-gerak ulama Azhari dengan sengaja di televisi dan malah membuka kesempatan lebar bagi selain ulama Al-Azhar. Apa pendapat Anda?
Sebenarnya sebagian besar orang yang bersemangat tampil di televisi-televisi dan membuat kegaduhan di sana adalah orang yang mengejar popularitas. Pada umumnya ulama Al-Azhar tidak mengejar popularitas.

Bagi ulama Al-Azhar, mereka lebih baik memfokuskan diri mengajar di masjid-masjid, mendampingi masyarakat di desa-desa dan kampung, di berbagai acara sarasehan bersama tokoh masyarakat lain atau seminar akademik daripada tampil di banyak stasiun televisi. Karena di sederet acara tersebut (seperti yang saya bilang) tidak akan ditemui adanya penyiar yang memotong pembicaraannya atau membatasi penjelasan tentang perspektif-pernyataan yang disampaikan. Tidak akan ada yang memberitahu bahwa waktu telah habis sementara penjelasan tentang hukum syar’i atau dasar dalilnya belum tuntas dibahas. Di sisi lain insan pertelevisian gemar sekali mengaitkan beberapa nama personal (subjektif) dan seperti tidak ada niatan mengubahnya.

Al-Azhar dan Tuduhan Syiah

Ada yang menuduh Al-Azhar mempropagandakan mazhab Syiah dengan bukti masuknya paham tersebut dalam diktat kuliah. Apa pendapat Anda?
Ini murni kebohongan dan mengada-ada. Al-Azhar berhaluan mazhab Ahlussunnah Wal Jamaah. Meskipun demikian di waktu yang sama juga mempelajari berbagai kelompok, pemikiran, mazhab, gerakan, dan keyakinan. Tapi bukan untuk diadopsi. Semua itu dipelajari sebagai studi-kritis (al-dirasat al-naqdiyah) dan studi-analitis (al-dirasat al-tahliliyyah). Oleh sebab itu, kami mempelajari semua mazhab dengan plus-minusnya. Tak ubahnya bertujuan untuk membentengi anak-anak kita dan menambah wawasan keilmuan. Hal ini wajib dimiliki dai. Seorang dai harus mengumpulkan maklumat tentang semua mazhab dan kelompok. Alquran memberi contoh pada kita tentang pendapat-pendapat orang yang yang bertentangan untuk kemudian didiskusikan. Bagaimana bisa kita membatasi anak-anak dari sekian mazhab ini? Belum lagi mazhab-mazhab ini mempunyai banyak poin kesamaan meski di beberapa aspek terdapat perbedaan. Memang itu sebuah keharusan untuk dijelaskan dan diberikan sanggahan dalam diktat anak-anak.

Apakah Anda juga memandang pentingnya pengembangan dan revisi pada metode pendidikan Al-Azhar?
Pengembangan merupakan sunatullah, hukum alam yang berjalan secara pasti dan otomatis. Sudah seharusnya seperti itu. Justru tidak benar kalau manhaj (metode pendidikan) Al-Azhar tetap sama, tak berubah puluhan tahun. Dengan catatan pengembangan di sini bermakna bagaimana membumikan teks-teks (keagamaan) sesuai realitas zaman itu.

Lalu tentang apa yang dituntut sebagian orang agar ada pemurnian turats (khazanah keilmuan tradisional). Apakah terdapat kekurangan pada turats Islam kita?
Turats hanyalah sejumlah (peradaban) manusiawi dan bersejarah. Misalnya, ada beberapa hal-ihwal merayu wanita (dalam syair). Ada zawq (perasaan) yang sesuai baik untuk kategori umum maupun etika keislaman. Ada juga yang bertentangan. Bukanlah suatu masalah jika kita kembali meneliti turats dan memberikan kritik dengan pandangan ilmiah dan tematik. Menyingkap apa yang terkandung dalam turats serta adanya pergulatan di sana bukanlah hal yang terlarang toh pada akhirnya turats adalah produk manusiawi, mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Figur-figur Islam

Penistaan figur-figur dalam Islam terus terjadi dan bukanlah hal baru. Apa tanggapan Anda dan apa sebabnya?
Atas apa yang telah keduanya lakukan; Uqbah ibn Nafi’ dan Salahuddin Al-Ayyoubi adalah sosok dalam khazanah Islam yang sepatutnya kita banggakan. Salahuddin manusia biasa dan tidak maksum (terbebas dari dosa seperti Nabi). Tetapi, ia adalah orang yang diampuni dosanya, melihat jasanya yang tiada duanya dalam pengembalian Alquds ke tangan umat Islam. Lagipula hoax dan kebohongan terhadap sosoknya nyata-nyata terbantahkan. Orang-orang yang mengeluarkan pernyataan sensasional dengan menyerang figur-figur Islam ini tidak memiliki argumen yang kuat. Dasar yang digunakan oleh mereka tak ubahnya hanya tuduhan tanpa burhan. []

***

Wawancara: Marwa Ghanim
Terjemah: Mu'hid Rahman

*Diterjemahkan dari mingguan Aqidati, Selasa 2 Dzul Qa'dah / 25 Juli 2017
**Untuk menyimak scan transkrip wawancara klik di sini.

Write a comment