Meluncur ke Kuliah Umum di Institut Perancis Kairo

Kairo punya banyak sekali rumah-rumah budaya. Kali ini kami memilih pergi ke pusat budaya milik Perancis ini.

 Kupretist: (kiri-kanan) Khalil, Adi, Dona, Me; Mu'hid.

Di tengah perjalanan menuju Institut Arkeologi Perancis Kairo (Institut français d'archéologie oriental) kemarin sore, kami begitu gugup. Jam menunjukkan pukul 5:30 sore sementara macet semakin mengular dari Jalan Al-Azhar sampai akhir Jalan Al-Mansouriya hampir hingga bundaran Mustafa al Babi al Halaby / Ideo.

JAMES AL MASRY

Setelah tak kunjung dapat angkutan umum, akhirnya kami mendapat satu mobil taksi gelap yang bersedia membawa kami ke Al Munira, Sayyeda Zaynab.

“Yaa usto.. Turunkan kami agak depan ya di Munirah. Dekat kok 800 meter-an. Jangan tepat di Sayyeda.”

“Wah, kita kan sepakat sampai Sayyeda saja. Lagian 20 Pounds berempat minta maju hampir sekilo. Hahahaha”, kata sopir si pemuda tengil. Tertawa lepas.

“Aku tambahin 10 Pounds deh!”, kataku.

Ia tetap tidak mau. Sejenak diam ia menimpali minta tambah 20 lagi untuk sepakat.

“Oke, kita tambah 20 pounds. Tapi turunkan kami di depan Al-Ma'had Al-Faransi. Yang paling cepat ya! Acara kami jam 6 entah bagaimana caranya 10 menit sisa ini harus sampai Munirah.”

Ia mengaku siap. Tancap gas! Potong jalan, salip semua mobil, terobos lampu merah. Sesekali tertawa dan menyebut nama Barat: James Bond ahoooo !! Hahaha

SATU NAMA BEDA AKSARA

Kami turun tepat di depan gerbang Institut Perancis. Gerbang tutup, sepi. Kami bertemu dengan salah satu pegiat di Ideo (Institut Dominican) yang terlebih dulu mengenal kami.

“Ahaa!! Min Indunisiya, musy keda? Dari Indonesia kan ya! Saya juga hendak ikut muhadoroh Prof. Frederic. Ayo masuk!”, kata dia yang nama Perancisnya selalu susah dilafalkan oleh kami.

Ternyata gerbang yang tadi tertutup sepi memiliki semacam kamera kecil untuk mengenali wajah. Kami di belakangnya, masuk tanpa harus diverifikasi wajah. Identitas dikumpulkan untuk mendapat akses. Karena “id-kerneh”kawan saya Khalil dan Dona entah di mana, saya masukkan saja 1 paspor, 1 kartu Al Azhar, 1 kartu American Univ. Cairo sewaktu kursus Inggris kemarin. Semua satu nama sebenarnya, hanya dengan penulisan berbeda. Aman.

Oiya! kami balik lagi, "Bolehkah kami ikut salat di sini (pos security)?" :D

WILYAM JAKSUN & IRAN SAYD

Kami masuk pukul 6:04 dan presentasi sudah dimulai. Bertemakan: Books, Libraries, Book-Collecting, and Reading in Islam.

Prof. Frederic Bauden yang buku-bukunya fokus pada era Mamluk dan koleksi Al Maqrizi memaparkan proses “tahkik” atau yang lebih dikenal Barat dengan “critical edition” suatu manuskrip.
Tidak banyak hal yang berbeda dari penjelasan Duktur Ayman Fuad Sayyid saat kursus intensif tentang manuskrip dulu. Seperti tahapan-tahapan identifikasi sebuah manuskrip dengan melacak siapa yang menulis, apakah ia sendiri si empunya karya, siapa yang meminjam, siapa yang mengoleksi, dst.

Prof. Frederic juga menyajikan beberapa detail penyebaran manuskrip spesifik wilayah India dan sekitarnya. Saya kurang begitu menangkap paparan yang spesifik itu.

Yang paling menarik adalah saat memaparkan beberapa temuan cap para orientalis, kolektor Barat. Cap itu bisa ditemukan di koleksi-koleksi mereka.

“Bagi Anda yang bukan native-speaker mungkin akan kesusahan melihat nama ini. Tapi, akan sangat mudah bagi peneliti Barat. Lihat saja di sini ada Kurunil Iran Sayd, Wilyam Jaksun, Yusuf, dst.”

PUSAT MANUSKRIP AL-AZHAR

Presentasi ini menurut saya spesifik membahas proses analisa awal naskah sebelum menjadi critical-edition atau “al-nashr al-naqdi” (istilah yang lebih dipilih Duktur Ayman Fuad daripada “tahqiq”). Sebagian besar sudah dibahas dalam kursus intensif kerjasama Al Azhar melalui Pusat Manuskrip Al Azhar dengan Cambridge Univ. dan Thesaurus Islamic Foundation (Maknaz) tahun lalu.

Teman-teman bisa mengikuti info kursus tahunan itu di Markaz Al-Azhar Li Tahqiq Al Nusus yang dibimbing oleh Duktur Ayman Fuad Sayyid dan diisi oleh filolog-filolog muda Al-Azhar yang aktif-produktif seperti Diyaul Haq Abu Bakr atau Ahmad Jumah.

Yang berbeda adalah karena berkaitan dengan sebuah projek database bernama The Ex(-)Libris ex Oriente Project. Oleh sebab itu, pemateri membahas tentang bagaimana sistem katalog yang “tidak membuat sakit kepala” karena aksara yang berbeda. Prof. Frederic menampilkan slide berisi contoh penulisan menggunakan Masalik Al-Absar fi Mamalik Al-Amsar karya Al-‘Umari yang menggunakan banyak nama dan cukup panjang. Ditulis dengan kaidah standar Internasional atau yang lebih dikenal The International Standard Identifier for Libraries.

Pusat Kajian Manuskrip Al-Azhar merupakan salah satu lembaga yang tergolong baru. Ia bersama lembaga-lembaga lain (setidaknya 8 lembaga) sekarang ini masih berhimpitan dalam satu gedung di area Masyakhah Grand Syekh. Sebut saja Pusat Terjemah Al-Azhar yang membawahi 11 cabang bahasa termasuk Indonesia. Lembaga terjemah ini dibina oleh Duktur Yusuf Aamir (Dekan Fakultas Lughah Wa Tarjamah, fokus Urdu). Ada pula lembaga publikasi serta lembaga pengamatan: Al Azhar Observatory.

Lembaga-lembaga ini rencananya akan dipindahkan di area gedung perpustakaan yang pembangunannya cukup singkat itu.

BATTIKH & PATATA

FOTO Frederic Bauden, pofessor and chair of Arabic & Islamic Studies - Liege Univ. Belgium.
Setelah menyapa Prof. Frederic dan sedikit bertanya tentang seorang penyair wanita era Mamluk, Aisha Ba-auniyah (titipan Mbah Imam Suhro hehehe), kami berfoto bersama.

“Kalian dari mana? Apakah dari tempat yang sama?, tanyanya.

“Kami pelajar Al-Azhar, Prof.! dari Indonesia hanya saja tidak semua dari pulau yang sama. (Dona dari Minang). Tahu kan Indonesia, kita punya banyak pulau..”,

“Battttiiiiiikh!”, kami bilang ke kawan Dominican / Ideo yang mengambil gambar.

“In Spanish, Say it ~Patataaaaa!”, kata Prof. Frederic. Hahaha


Write a comment